"Cerdas" menurut Rosululloh

01.05

Oleh: Heri Mahfudhi, Lc.

Rosulullah S.A.W bersabda dalam hadist shohih :
الكيس من دان نفسه و عمل لما بعد الموت -الحديث
" Orang yang Cerdas adalah Orang yang mampu menundukkan (memanage) dirinya/nafsunya, dan beramal semaksimal mungkin untuk bekal di akhirat".
Dalam Riwayat lain, 
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384).
Inilah klasifikasi yang digolongkan sebagai orang cerdas, orang jenius, orang pandai. Maknanya sangat dalam dan keluar dari batas-batas klasifikasi yang dibuat manusia hingga kini.
Bagaimanapun kecerdasan masih menjadi standar dalam kehidupan modern ini. Di sekolah, di tempat kerja di dalam lingkungan sekeliling kita semua berlomba untuk cerdas dalam fisika, matematika, sains, biologi, bahasa Inggris bahkan piano dan gitar. Semua untuk memupuk kecerdasar otak manusia dan juga seni.
Pancaindera dimanjakan untuk dijadikan tolok ukur orang yang cerdas, orang yang hebat. Namun Rasulullah beyond that. Cerdas justru ada hubungan dengan kehidupan setelah kematian. Sungguh agung definisi ini.

Setidaknya ada dua hikmah dari hadits Rasulullah :
Pertama, kecerdasan itu menyangkut soal kemampuan menggunakan akal dalam melihat fakta-fakta dan persoalan. Dengan membandingkan waktu kehidupan dunia yang singkat dan terbatas ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal maka kebahagiaan hakiki harus mempertimbangkan keadaan di masa depan. Secara manusiawi memang manusia menginginkan sesuatu dalam jumlah besar, lebih kaya, lebih panjang umurnya, lebih berbahagia atau memiliki kelebihan-kelebihan fisik dan intelektual. Namun manakala dia mampu melakukan perbandingan berdasarkan akalnya semata antara dunia dan akhirat, maka dia sudah melakukan keputusan jenius. Akal bisa mengatakan lebih baik memilih hidup di akhirat bahagia daripada melanggar ketentuan di dunia -misalnya korupsi, membunuh, menyakiti orang lain – untuk kebahagiaan sekilas. Inilah keputusan orang cerdas, memilih yang lebih besar, lebih luas, lebih kekal dan lebih membahagiakan.
Kedua, disebut cerdas orang yang demikian ini karena akhirat adalah dunia yang tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh pancaindera. Oleh sebab itu mereka yang meyakininya memiliki kecerdasan lebih dari orang biasa. Disini arti kecerdasan menjadi luas. Tidak hanya sempit semata-mata dalam perhitungan matematika, fisika dan bahasa tetapi beyond that. Melebihi batas-batas pengertian kecerdasan umum. Oleh sebab itu definisi cerdas disini tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga humanisme. Dia tidak harus bergelar dan berpendidikan tinggi. Namun dia yang digolongkan cerdas oleh Rasulullah karena mampu memandang dengan mata batin maka memiliki kekuatan plus yang dahsyat. Mereka yang meyakini sesuatu yang tidak terlihat akan menjadi bagian dirinya di masa depan namun dia masih di dunia. Inilah sebuah kondisi orang yang cerdas, yang mampu memherhitungkan risiko kehidupan masa ini.

» Thanks for reading: "Cerdas" menurut Rosululloh
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 Response to ""Cerdas" menurut Rosululloh"

Posting Komentar