Oleh : Heri Mahfudhi, Lc
Mungkin pernah terlintas dalam benak seorang muslim sebuah pertanyaan kritis; bagaimanakah bentuk shalat, puasa, zakat umat-umat terdahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka disini akan dicoba dikupas dan didiskusikan.
Secara umum telah jelas bahwasanya shalat, zakat, puasa adalah ritual ibadah yang juga disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad. Hal ini tampak jelas dalam beberapa ayat Al Qur'an, dimana Allah Ta'ala mengisahkan tentang Nabi Isa;
و جعلني مباركا أين ما كنت و أوصاني بالصلاة و الزكاة ما دمت حيا (مريم: 31)
Artinya : “dan Dialah Allah Yang menjadikan aku sebagai orang yang diberkahi dimanapun aku berada, dan mewasiatkan kepadaku agar senantiasa shalat dan zakat selama aku masih hidup”. (Q.S: Maryam [31] ).
Dalam ayat lain Allah juga menceritakan tentang Nabi Ismail ;
و كان يأمر أهله بالصلاة و الزكاة و كان عند ربه مرضيا (مريم: 55)
Artinya : “ Dan Ismail menyuruh keluarganya untuk senantiasa melaksanakan shalat serta zakat, dan dia disisi Tuhannya selalu mendapatkan ridlo”. (Q.S: Maryam[55] ).
Begitu juga ketika mengisahkan perihal doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim :
رب اجعلني مقيم الصلاة و من ذريتي ربنا و تقبل دعاء (إبراهيم: 40)
Artinya : “ Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan keluargaku sebagai orang-orang yang mampu mendirikan shalat. Ya Allah kabulkanlah permohonan kami ini”. (Q.S: Ibrahim [40] )
Dalam surat hud terdapat ayat tentang kritikan kaumnya Nabi Syuaib terhadap Nabi Syuaib sendiri perihal shalat;
قالوا يا شعيب أ صلاتك تأمرك أن نترك ما يعبد آباؤنا أو أن نفعل في أموالنا ما نشاء. إنك لأنت الحليم الرشيد (هود: 87)
Artinya : “(dan kaum Nabi Syuaib) berkata: hai Syuaib, apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami atau agar kami berbuat sekendak hati kami terhadap harta-harta kami. Kamu sungguh seseorang yang penyantun dan cerdas”. (Q.S: Hud [87] ).
Dalam ayat kewajiban puasa ramadlan pun terdapat indikasi adanya kewajiban puasa terhadap umat-umat terdahulu. Allah berfirman :
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقرة: 183)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa (ramadlan) sebagaimana juga diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian senantiasa bertakwa. (Q.S: Al Baqarah [183] )
Dan masih banyak lagi beberapa ayat lain yang juga menyinggung hal yang sama.
Dalam ayat-ayat tersebut sangat jelas sekali bahwa Allah menjelaskan kepada kita perihal adanya kewajiban shalat, zakat, puasa kepada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad, namun tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan cara ibadah mereka. Begitupun dalam hadits-hadits Nabi tidak ditemukan nash dalil yang secara jelas menerangkan bentuk atau cara ibadah umat-umat terdahulu. Dalam kondisi seperti ini maka sikap yang mesti kita lakukan adalah tawaqquf, yakni diam serta tidak mengarang-arang atau membuat-buat sebuah statemen berkenaan dengan bentuk dan cara ritual ibadah umat-umat terdahulu. Dan juga tidak boleh ber-takalluf (membebani diri diluar kemampuan yang dipunyai) dengan mencari-cari informasi atau pengetahuan tentang hal tersebut. Sebab jika memang dalam mengetahui hal tersebut terdapat maslahat atau manfaat untuk kita, pastinya Allah akan menjelaskannya kepada kita secara gamblang.
Beberapa Ulama ada yang mempunyai pendapat bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat-umat terdahulu tersebut sebenarnya sama persis dengan puasa yang diwajibkan kepada kita umat Islam, hanya saja mereka telah mengganti atau merubahnya. Imam Qurthubi dan beberapa ulama yang lain juga menyebutkan beberapa atsar atau riwayat perihal pendapat ini.
Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani didalam karya monumentalnya “Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari” juga menjelaskan perbedaan pendapat mengenai tafsir ayat tentang kewajiban puasa dalam surat Al Baqarah ayat 183 tersebut. Beliau menulis dalam kitabnya : “adapun lafadz [كما] dalam ayat tersebut terdapat perbedaan dalam memahami bentuk tasybih, apakah lafadz tadi tersebut maksudnya adalah tasybih haqiqi (penyerupan tekstual sesuai dzahir lafadz), yakni berkewajiban melaksanakan puasa persis seperti ramadlan, ataukah maksudnya tasybih muthlak (penyerupakan secara global dan umum), yakni kewajiban puasa secara umum tanpa ada ikatan label waktu maupun ukuran atau jumlahnya sebagaimana ramadalan. Maka dalam hal ini ada dua pendapat; (1) tasybih (penyerupaan) dalam ayat tersebut adalah penyerupaan atau penyamaan dalam hal kewajiban melaksanakan, bukan dalam hal bentuk atau cara ritual ibadah yang dilakukan. Sebagaimana hal ini diperkuat dalam tafsir al-Manar bahwasanya penyerupaan dalam ayat tersebut adalah penyerupaan dalam hal hukun kewajiban melaksanakan ritual, bukan penyerupaan dalam hal bentuk, ukuran, atau jumlah ritual yang diwajibkan. (2) penyerupaan dalam ayat tersebut disamping mencakup kewajiban ritual yang dilakukan, juga penyerupaan dalam hal bentuk, jumlah, atau waktu ritual yang diwajibkan”.
Dengan demikian telah sangat jelas bahwasanya pada hakikatnya tidak ditemukan nash dalil yang jelas baik dalam Qur’an maupun Sunnah berkenaan tentang bentuk atau cara beribadah umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad.
Wallahu a’lam bi al-Showab.
» Thanks for reading: Ibadah dalam Perspektif Syariat Umat Terdahulu
0 Response to "Ibadah dalam Perspektif Syariat Umat Terdahulu"
Posting Komentar